Senin, 21 Mei 2012

Perkembangan Studi Psikologi Agama Pada Remaja (Masa Pubertas dan Adolesen) dalam Perspektif Psikologi Agama Modern


Perkembangan Studi Psikologi Agama Pada Remaja (Masa Pubertas dan Adolesen) dalam Perspektif Psikologi Agama Modern

A.      Pendahuluan
Masa remaja merupakan suatu masa yang sangat menentukan karena pada masa ini seseorang banyak mengalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Terjadinya banyak perubahan tersebut sering menimbulkan kebingungan-kebingungan atau kegoncangan-kegoncangan jiwa remaja, sehingga ada orang yang menyebutnya sebagai periode "strum und drang" atau pubertas.
Mereka bingung karena pikiran dan emosinya berjuang untuk menemukan diri, memahami dan menyeleksi serta melaksanakan nilai-nilai yang ditemui di masyarakatnya, di samping perasaan ingin bebas dari segala ikatanpun muncul dengan kuatnya. Sementara fisiknya sudah cukup benar, sehingga disebut anak tidak mau dan disebut orang dewasa tidak mampu. Tepatlah kiranya kalau ada ahli yang menyebutnya sebagai "masa peralihan" sebagaimana diungkapkan "a period during which growing person makes the transition from childhood to adulthood".
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang-kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan studi psikologi agama pada remaja mencakup masa pubertas dan adolesen dalam perspektif psikologi agama modern, akan dipaparkan pada pembahasan selanjutnya.


B.       Pembagian Fase Remaja
Secara teoritis rentang usia remaja dibagi dalam beberapa fase. Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat, dikarenakan sulitnya memberikan batas yang pasti. Akibatnya tidak jarang terjadi adanya batas usia yang saling tumpang tindih antara satu fase dengan fase lainnya.[1]
Hurlock membagi masa remaja menjadi dua fase dan masing-masing fase dibaginya ke dalam sub-sub, yang dapat diringkaskan sebagai berikut:
1.         Pubertas
Menurut Elizabeth B. Hurlock, puberty is the period in developmental span when the child changes from an asexual to a sexual being.[2]
Masa puber adalah periode yang unik dan khusus yang ditandai oleh perubahan-perubahan perkembangan tertentu yang tidak terjadi dalam tahap-tahap lain dalam rentang kehidupan.
Tahap pubertas ini dibagi menjadi tiga tahap, di antaranya:
a.         Tahap Prapuber
Tahap ini bertumpang tindih dengan satu atau dua tahun terakhir masa kanak-kanak pada saat anak dianggap sebagai prapuber, yaitu bukan lagi seorang anak tetapi belum juga seorang remaja. Dalam tahap prapuber ciri-ciri seks sekunder mulai tampak tetapi organ-organ  reproduksi belum sepenuhnya berkembang
b.        Tahap Puber
Tahap ini terjadi pada garis pembagi antara masa kanak-kanak dan masa remaja
c.         Tahap Pascapuber
Tahap ini bertumpang tindih dengan tahun pertama atau kedua masa remaja. Selama tahap ini, ciri-ciri seks sekunder telah berkembang baik dan organ-organ seks mulai berfungsi secara matang

2.         Adolesen
Sedangkan adolesen menurut Elizabeth adalah, the term adolescence comes from the latin word adolescence, meaning to grow, or to grow to maturity. ... as it is used today, the term adolescence has a broader meaning it includes mental, emotional and sosial maturity as well as physical maturity.[3]
Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Namun, penelitian tentang perubahan perilaku, sikap dan nilai-nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada awal masa remaja daripada tahap akhir masa remaja, tetapi juga menunjukkan bahwa perilaku, sikap dan nilai-nilai pada awal masa remaja berbeda dengan akhir masa remaja. Dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, di antaranya:
a.         Early adolescence
Berlangsung kira-kira dari usia 13-16 atau 17 tahun
b.        Late adolescence
Akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat singkat
Menurut Erikson adapun tugas perkembangan pada masa remaja adalah the sense of identity. Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting namun, lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya.

C.      Perkembangan Keagamaan Pada Masa Remaja
            Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan biasanya memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
            Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
            Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini, Seifert dan Hoffnung menulis:
During adolescence, cognitive development affect both specific religious beliefs and overall religious orientation. in general, specific beliefs become more sophisticated or complex than they were during childhood. the concept of religious denomination, for example, evolves from relatively superficial to more accurate and abstract notions.
Pada dasarnya remaja telah membawa potensi beragama sejak dilahirkan dan itu merupakan fitrahnya. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah bagaimana remaja mengembangkan potensi tersebut. Ide-ide agama, dasar dan pokok-pokok agama pada umumnya diterima seseorang pada masa kecilnya. Apa yang diterima sejak kecil, akan berkembang dan tumbuh subur, apabila remaja dalam menganut kepercayaan tersebut tidak mendapat kritikan. Dan apa yang tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang dipeganginya melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.
Perkembangan intelektual remaja akan mempunyai pengaruh terhadap keyakinan dan kelakuan agama mereka. Fungsi intelektual akan memproses secara analisis terhadap apa yang dimiliki selama ini, dan apa yang akan diterima. Remaja sudah mulai mengadakan kritik disana sini tentang masalah yang diterima dalam kehidupan masyarakat, mereka mulai mengembangkan ide-ide keagamaan, walaupun hal tersebut kadang-kadang tidak berangkat dari suatu perangkat keilmuan yang matang, tetapi sebagai akibat dari keadaan psikis mereka yang sedang bergejolak. Dalam bidang-bidang tertentu yang dianggap cocok dan releven akan diterimanya, kemudian dengan kemauan keras dijabarkan dalam kenyataan hidupnya seolah-olah tidak ada alternatif lagi yang harus dipikirkan.
Keadaan emosi remaja yang belum stabil juga akan mempengaruhi keyakinannya pada Tuhan dan pada kelakuan keberagamaannya, yang mungkin bisa kuat atau lemah, giat atau menurun, bahkan mengalami keraguan, yang ditandai oleh adanya konflik yang terdapat dalam dirinya atau dalam lingkungan masyarakatnya.
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidakadilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.[4]
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan-perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang-kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika remaja tersebut takut gagal atau merasa berdosa.
Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa sebenarnya perasaan remaja dalam beragama, khususnya terhadap Tuhan, tidaklah tetap. Kadang-kadang sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh bahkan menentang.

D.      Faktor-Faktor Perkembangan Beragama Pada Masa Remaja
Perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah:
1.         Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya
2.         Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasan super, remaja lebih terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.
3.         Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mareka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
4.         Perubahan moral
Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan soial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proposisi. Jadi remaja dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.[5] 

E.       Sikap Keagamaan Pada Masa Remaja
Sikap remaja terhadap agama  menurut Zakiah Daradjat adalah sebagai berikut:
1.         Percaya dengan turut-turutan
Yaitu sikap golongan remaja yang melakukan penghayatan dan pengamalan ajaran agama hanyalah karena orang tua, teman sebaya dan masyarakat lingkungannya yang mengamalkan agama dengan baik.
2.         Percaya dengan kesadaran
Kesadaran beragama bagi remaja akan timbul dengan baik apabila ajaran agama yang didakwahkan kepada mereka  diterima dengan akal sehat, dengan teliti dan kritik berdasarkan ilmu pengetahuan. Biasanya percaya dengan kesadaran ini terjadi pada masa remaja akhir, yang memang sejak masa kecilnya sudah dibiasakan untuk melaksanakan ajaran agama.
3.         Percaya dengan ragu-ragu
Golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, yaitu apabila ajaran agama yang didakwahkan kepada mereka semenjak kecil lebih bersifat otoriter, paksaan untuk mengamalkannya, sehingga pada masa remajanya terjadi perberontakan terhadap sifat otoriter tersebut.
4.         Tidak percaya sama sekali (cenderung atheis)
Golongan remaja  ini bermula dari golongan remaja yang ragu-ragu terhadap agama, makin lama keraguannya semakin bertambah sehingga semakin jauh dari ajaran agama. Salah satu penyebabnya adalah bertumpuknya perasaan kecewa karena dorongan atau keinginan yang tidak terpenuhi, sehingga berakibat pesimis dan putus asa. Bagi remaja yang kurang meresap nilai agamanya dalam jiwanya lambat laun akan menjadi marah dan benci terhadap agama karena ia memandang agama sebagai penghalang hawa nafsunya dalam mencapai kepuasaan hidupnya.[6]
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bagaimana remaja menyikapi agama namun, hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor, satu di antaranya adalah pola asuh orang tua dalam mendidik anak-anaknya karena sebagaimana yang diketahui tipe kepemimpinan orang tua (demokratis, lezeifer dan otoriter) dapat menentukan sikap anak terhadap agama. Oleh karena itu orang tua dituntut untuk mengkolaborasikan ketiga tipe kepemimpinan tersebut karena bisa memberikan efek yang positif maupun negatif terhadap remaja.

F.       Kesimpulan
Masa puber merupakan masa pertumbuhan dan perubahan yang pesat meskipun masa puber merupakan periode singkat yang bertumpang tindih dengan masa akhir kanak-kanak dan permulaan masa remaja. Masa ini terjadi pada usia yang berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan dan bagi individu-individu di dalam setiap kelompok seks. Masa puber terdiri dari tiga tahap yaitu tahap prapuber, puber dan pascapuber. Sedangkan masa remaja, yang berlangsung dari saat individu menjadi matang secara seksual sampai usia 18 tahun, dibagi ke dalam awal masa remaja, yang berlangsung sampai usia 17 tahun dan akhir masa remaja yang berlangsung sampai usia kematangan yang resmi.
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakikat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana perilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya.
Remaja adalah cikal bakal calon pemimpin negara,
oleh karena itu masa remaja adalah masa yang penting dalam rentang kehidupan.
Di antara tugas perkembangan remaja menurut Erik Erickson adalah mencari jati diri dan untuk menemukan jati diri pada masa remaja salah satunya adalah melalui agama.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.














KEPUSTAKAAN

Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama, Bandung: Sinar Baru, 1991

Cahyadi dan Muhibin, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Quantum Teaching, 2006

Darajdat dan Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Hurlock, Elizabeth B, Developmental Psychology, New York: Mc. Graw-Hill, 1980

Soedjarwo dan Istiwidayanti, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, tt




                [1] Muhibin dan Cahyadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Quantum Teaching, 2006), h. 1034
                [2] Elizabeth B. Hurlock, Developmental Psychology, (New York: Mc. Graw-Hill, 1980), h. 179
                [3] Ibid., h. 206
[4] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Sinar Baru, 1991), h. 77

                [5] Istiwidayanti dan Soedjarwo, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, tt), h. 225
[6] Zakiah Darajdat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 91-102